Diskusi Sastra: Menilik Realita dan Imaji

ditulis oleh Cahyo Saputro


Sabtu, 21 September 2024, Area Penjelajah Sastra (APSA) mengadakan sebuah diskusi yang dibuka untuk umum dengan tajuk “Persimpangan Antara Realitas dan Imaji”. Tentu, hal ini merupakan sebuah kesenangan tersendiri bagi para pegiat literasi daring. Pemakalah diskusi ini ialah Bang Mahardika, pegiat literasi yang berdomisili di kota hujan a.k.a. Bogor.

Diskusi ini membicarakan tentang implikasi realitas dan imaji dari tiga puisi penyair kondang Indonesia, yaitu puisi Kepada Hawa karya Aan Mansyur, Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono, dan Lanskap karya Goenawan Mohamad. Pemilihan puisi-puisi ini tentu bukan tanpa alasan. Bang Mahardika ingin mengajak audiens mengamati dan menelisik secara sederhana dengan katanya, “dibawa lucu-lucuan aja”.

Pada puisi pertama, Kepada Hawa karya Aan Mansyur digunakanlah penyusunan kata-kata yang sederhana dan tidak muluk-muluk. Akan tetapi, hal yang menarik adalah ditafsirkannya suatu pemaknaan atau pandangan baru, di mana hal tersebut tidak pernah terlintas di sekelebat pikiran saya. Mengapa hal ini terjadi? Itu disebabkan karena adanya aspek-aspek puitika.

Aspek-aspek puitika ini menjadi suatu jembatan untuk sebuah penafsiran antara realitas dan imaji. Sebagaimana kita ketahui bahwa realitas merupakan suatu hal yang konkret, sedang imaji merupakan suatu gambaran fiktif yang ada dalam pikiran manusia. Kemudian, meliputi apa saja aspek-aspek puitika itu? Hal ini bisa dilihat sebagai segala aspek yang digunakan kala menganalisis sebuah puisi. Banyak contohnya, seperti rima, gaya bahasa, simbol, dan lain-lain yang berkenaan pada unsur batin ataupun unsur fisik puisi.

Pada puisi kedua, Aku Ingin karya Sapardi, Bang Mahar menegaskan bahwa satu metafora atau satu simile—pertautan yang membandingkan dua hal yang berbeda, tetapi dianggap memiliki arti yang hampir sama—bisa menjadi pemantik dalam multi-penafsiran, walaupun puisi bukan hanya soal penafsiran atau pemaknaan.

Suatu yang serupa juga ditemui untuk puisi ketiga, Lanskap karya Aan Mansyur. Dalam pembaitan puisi ini, terdapat abstrak di dalam abstrak. Hal ini merupakan suatu kepiawaian kreatif seorang penulis atau penyair dalam membungkus ide-ide, gagasan, esensi, dan perihal lain yang melingkupi.

Ketiga puisi ini menghadirkan suatu kilas balik dan perasaan yang berbeda, apalagi ketika berbicara tentang sudut pandang pengarang. Tidak hanya itu, penulis juga merekonstruksi tentang realitas dan dibawanya ke dalam medium bahasa dengan penuangan imaji. Sebelum merekonstruksi, penting untuk mulai menumbuhkan lebih kepekaan. Tujuan dari pemupukan kepekaan ini adalah untuk menangkap momen-momen yang terjadi di sekitar atau sebut saja untuk menjemput momen “puitik”.

Walaupun terkadang para penulis mendapati kematian sense dalam menjemput momen puitik. Kematian ini serupa mati suri bagi para penulis atau penyair itu sendiri. Pada akhirnya diperlukan suatu cara untuk mengatasi hal tersebut, sehingga sumber referensi—atau sifat referensial yang lekat dengan bahasa—sangat-sangat dibutuhkan. Selain sebagai pengalihan kematian sense, hal itu juga menjadi momen “puitik” dengan “meminjam” esensi dalam sumber referensi yang dibutuhkan.

Sekiranya pembicaraan tentang persimpangan realitas dan imaji ini jatuh kepada bagaimana seorang pembaca membaca suatu puisi secara tekstual. Lebih dari itu, diskusi ini menerangkan tentang dasar-dasar dari puisi yang seharusnya dibawa “asik” agar tiada berat beban di pundak. Maka dari itu, tidak ada salahnya apabila mulai dari sekarang, siapapun mencoba untuk membaca atau bahkan membuat satu buah puisi.

Yogyakarta, 22 September 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunitas: Sebuah Upaya Daring Pembelajaran Literasi

TBM Harapan Jogja: Pengembangan Literasi Lewat Praktik Menulis

Bahasa Puisi yang Begini dan Begitu