Mengambil yang Dekat, Mengenal yang Jauh
ditulis oleh Cahyo Saputro
Mengambil yang dekat dengan mengenal yang jauh, sebagaimana tata krama atau unggah-ungguh mertamu dalam kebudayaan Jawa atau kesopanan dalam bertamu menjadi contoh konkret tentang bagaimana pentingnya mencukupkan kadar keinginan muluk-muluk. Tindakan ini bukan semata-mata merendahkan manusia, bahwa ia tidak bisa menjangkau lebih atau mencakup hal lain bahkan membatasi keinginan. Bukan dan tidak seperti itu. Mengenali hal-hal yang dekat merupakan suatu kebijaksanaan, mengelola diri, mensyukuri, dan mencoba menerima apa yang lekat dengan diri sendiri.
Bagaimana jika seorang menulis suatu hal yang ‘jauh’ dan melupakan hal-hal yang ‘dekat’? Bagaimana jadinya ‘pabila seorang pengrajin tempe menulis resep obat? Atau seorang nelayan yang berbicara tentang benih padi yang apik? Atau bahkan seorang ahli bedah yang berbicara tentang mesin? Relevansi ini perlu diperhitungkan ulang sebagai perenungan di mana memang seorang manusia mempunyai potensi lebih, tetapi apa boleh jadi ketika suatu hal yang bukan bidangnya ia bicarakan lantang-lantang bak pembual?
Anggapan menjadi keren dan dikenal sebagai intelek mendorong manusia menulis sesuatu dengan luar biasa ‘jauh’ dari dirinya. Padahal proses kreatif selalu berkaitan dengan kebudayaan dan ranah sosial yang melatarbelakangi seorang penulis, sebagaimana contoh Faisal Oddang, penulis asal Sulawesi Selatan dengan kedekatan adat dan budaya dalam pengalaman hidupnya di kampung halaman. Inilah suatu kontradiktif yang kerap ditemui belakangan ini. Keinginan menulis puisi yang anti-mainstream, mendorong terlahirnya tulisan-tulisan yang sebenarnya bisa dimatangkan kembali di kemudian hari.
Kesalahan-kesalahan ini perlu ditelaah lebih lanjut, salah satu analisis ialah tentang bagaimana memanfaatkan ruang lingkup sehari-hari, memetik sebuah momentum, dan dijadikan sebagai ledakan. Proses ini seringkali dilupakan sebab ‘keberangkatan’ penulis yang beragam, tetapi lupa tentang pentingnya kilas balik dengan meliputi karya-karya yang bisa disebut sebagai karya utuh dan karya jadi. Sebagaimana karya utuh ialah karya yang tidak rumpang, tidak dirasa kurang (esensi), dan menemukan suatu titik tuju. Tentang bagaimana karya jadi, ini merupakan suatu karya yang tentunya rampung atawa diselesaikan, meskipun nanti bisa didiskusikan lebih lanjut, sebagaimana contoh, “bagaimana suatu puisi disebut utuh dan puisi disebut jadi?”
Sebelum itu, pemanfaatan momentum puitik menjadi salah satu faktor pijakan awal dalam pembentukan imaji. Imaji inilah yang mengantar esensi dari suatu karya penulis, dalam ihwal ini berupa puisi. Seringkali, imaji ini dilupakan penulis yang mengaku menulis “puisi”, tentu pengarang artikel ini jua mendapati kesalahan serupa. Lantas, bagaimana imaji itu sendiri menjadi suatu esensi puisi? Maka pertanyaan ini muncul sebagai bahan diskusi lebih lanjut guna melengkapi kerumpangan artikel ini.
Yogyakarta, 7 September 2024
Komentar
Posting Komentar