APLIKASI BAHASA NONILMIAH DALAM KARYA PUISI
ditulis oleh Cahyo Saputro
Sebuah dunia seni menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan, khususnya seni sastra. Seni sastra merupakan sebuah seni yang menampung ide, konsep, gagasan, dan pesan seorang seniman dalam penyampaian karyanya dengan medium tulisan. Hal ini sejalan dengan pendapat Danziger dan Johnson (1961) yang melihat sastra sebagai "seni bahasa" (dalam Budianta, dkk., 2008), yaitu sebuah cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Soeparno (2013) mengatakan bahwa bahasa menurut teori struktural dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Arbitrer merupakan sifat yang semena-mena dalam bahasa. Biasanya, sifat ini dipakai dalam sebuah karya sastra guna memunculkan sebuah keestetisan. Bahasa juga memiliki fungsi yang amat sederhana dan penting, yaitu sebagai alat komunikasi dan pengekspresian diri.
Pada aspek komunikasi, bahasa bisa saja dibagi menjadi dua jenis, yaitu bahasa ilmiah dan bahasa non-ilmiah. Pembagian ini dilakukan berdasarkan suatu ketentuan dalam pemberian informasi. Bahasa ilmiah biasanya akan dipakai oleh para peneliti dalam hipotesisnya, sedangkan bahasa non-ilmiah akan dipakai oleh para penyair dalam karyanya. Tentu, bahasa ilmiah dan bahasa nonilmiah (bahasa sastra) mempunyai perbedaan. Apabila dilihat dari sudut pandang pengambilan bahasa, maka bahasa ilmiah akan mengedepankan logika atau pikiran, sedangkan bahasa nonilmiah (bahasa sastra) akan mengedepankan emosi atau ekspresi.
Hal ini sejalan dengan pengekspresian diri yang merupakan suatu aspek penting dalam keberadaannya. Biasanya, pengekspresian diri terdapat dalam sebuah tulisan yang berbau imajinatif dan karya sastra berhubungan langsung dengan imaji. Karya sastra terbagi menjadi tiga, yaitu puisi, prosa, dan drama. Pada kasus kali ini, puisi lebih memiliki kecenderungan dalam pengekspresian diri, karena pada hakikatnya puisi merupakan luapan emosi dari pengarangnya. Suminto A. Sayuti (2002) dalam bukunya menuliskan bahwa puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang mempertimbangkan adanya aspek bunyi- bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya, yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya.
Oleh karena itu, puisi memiliki beberapa keunikan tersendiri, di mana dalam susunan kalimat dan kebahasaannya biasanya menggunakan perumpamaan atau bahkan pengulangan. Seperti salah satu contoh puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul Kebun Hujan.
Kebun Hujan
(1)
Hujan tumbuh sepanjang malam, tumbuh subur di halaman.
Aku terbangun dari rerimbun ranjang, menyaksikan angin dan dingin hujan bercinta-cintaan di bawah rerindang hujan.
Subuh hari kulihat bunga-bunga hujan dan daun-daun hujan berguguran di kebun hujan, bertaburan jadi sampah hujan.
(2)
Kudengar anak-anak hujan bernyanyi riang di taman hujan dan ibu hujan menyaksikannya dari balik tirai hujan.
Pagi hari kulihat jasad-jasad hujan berserakan di kebun hujan.
Airmataku berkilauan di bangkai-bangkai hujan dan matahari datang menguburkan mayat-mayat hujan.
(2001; salam untuk cerpen “Hujan” Sutardji)
Tentu bisa dilihat, susunan kalimat pada puisi tersebut merupakan pengulangan kata yang sama pada tiap barisnya. Namun, dalam kondisi puisi, maka hal tersebut menjadi sebuah estetika sendiri dalam karyanya. Sebagaimana hal yang telah dibahas sebelumnya, terkait pengekspresian diri, maka puisi menjadi contoh konkret bahwa bahasa merupakan sebuah alat komunikasi dan penyaluran emosi. Bahasa, tidak hanya dijadikan sebagai sebuah fungsi komunikasi dialog, di mana manusia yang satu berbicara dengan manusia yang lain.
Bahasa mempunyai medan yang cukup luas, sehingga puisi pun dapat berinteraksi dengan penikmat atau pembacanya. Pembaca akan mudah terbawa ke dalam sebuah pesan yang ingin disampaikan pengarang, apabila bahasa yang disajikan dapat dipahami, dimaknai, dan diterima sehingga bahasa mempunyai keluwesan tersendiri dalam hakikatnya. Meskipun begitu, tetaplah benar, apabila pemaknaan dalam berbicara sehari-hari dengan pemaknaan membaca puisi berbeda. Walaupun keduanya hampir mempunyai kesamaan, seperti dalam hal penyampaiannya, tetap saja pengaplikasian bahasa nonilmiah kepada karya sastra merupakan kebijaksanaan sebuah bahasa dalam penempatan sesuai konteks dan kondisi yang dikaji serta berkaitan.
Yogyakarta, 8 Juni 2024
Daftar Pustaka
Budianta, Melani dkk. 2008. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesiatera
Pinurbo, Joko. (2016). Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sayuti, Suminto A. (2002). Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Soeparno. (2013). Dasar-Dasar Linguistik Umum Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Komentar
Posting Komentar