Sebuah Pandangan Tentang Menulis

ditulis oleh Cahyo Saputro

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

Menerka beberapa pertanyaan yang kerap muncul pada diri manusia, ketika bagaimana sebuah fenomena diabadikan. Apakah kita bisa menerka suatu kejadian secara rinci dan runtut apabila disajikan sebuah visualisasi? Pun ketika hal itu dikemas sedemikian rupa dengan lukisan sebagai sebuah output. Secara sensoris, memang kita bisa menerka sebuah kejadian atau fenomena lewat visualisasi, sebagai contoh pada lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro di mana menceritakan kisah sewaktu Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Namun, apakah suatu kebenaran atau tuturan bisa tercermin dalam sebuah visualisasi? Kemudian, bagaimana sebuah kebenaran fenomena dibalut menjadi suatu karya yang memotret dan mengabadikan peristiwa tersebut?

Perlu digarisbawahi, bahwa kebenaran atau kepastian tuturan memang bernilai subjektif. Hal tersebut memang menimbulkan multitafsir tentang kesubjektifan itu sendiri. Maka dari itu, beberapa bahkan banyak fenomena dijadikan sebagai sebuah karya yang mendapati penyesuaian dari pengarang itu sendiri, seperti halnya contoh lukisan di atas. Tidak berhenti di situ, mengabadikan sebuah peristiwa bisa juga dilakukan dengan menulis. Muncullah pertanyaan tentang bagaimana bisa menulis berdampak besar pada sebuah kebenaran subjektif? Menelisik kembali tentang pengertian menulis itu sendiri, menurut saya menulis merupakan suatu aktivitas komunikasi, bermediumkan bahasa, berbenttuk teks, dan bersifat kontekstual.

Ketika berbicara tentang menulis, tentu tidak lepas dengan adanya proses penalaran, yang meliputi analisis, pemahaman, penerimaan, dan pemaknaan. Tentu, setiap proses akan memengaruhi nilai dari apa yang telah ditulis. Pada beberapa waktu, bisa saja penulis mengalami salah nalar. Hal tersebut kerap terjadi, sehingga bisa saja tulisan menjadi jembatan untuk sesat-menyesatkan.

Apakah tulisan yang dianggap “sesat” ialah mutlak bahwa tulisan tersebut mengandung pemerian arti sesat itu sendiri? Seperti tulisan pada artikel ini. Bagaimana jika menulis menjadi kehidupan bagi seseorang? Kehidupan yang dimaksud bukan berarti mata pencaharian, melainkan sebuah pelarian diri (escape) dari dunia yang selayaknya dijalani.

Ada yang menganalogikan bahwa menulis merupakan kebutuhan primer; seperti makan dan minum. Pun ada yang menganalogikan bahwa menulis merupakan pakaian dari sebuah isi, entah isi seperti apa yang dimaksud. Ini sejalan dengan kebenaran subjektif yang diciptakan oleh penulis atau si pengarang itu sendiri. Di beberapa literatur, pernah tertulis bahwa menulis merupakan seni menafsirkan kehidupan itu sendiri. Kemudian, apakah ada hubungan antara kehidupan dan karya tulis? Sila baca artikel yang akan terbit setelah tulisan ini.

Purwokerto, 29 Juni 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunitas: Sebuah Upaya Daring Pembelajaran Literasi

TBM Harapan Jogja: Pengembangan Literasi Lewat Praktik Menulis

Bahasa Puisi yang Begini dan Begitu