Hidup dan Proses Kreatif
ditulis oleh Cahyo Saputro
Kamu tim bubur ayam dicampur dengan menerima heterogenitas—simbolik bhinneka tunggal ika—atau dibiarkan sedemikian rupa untuk melihat dan menikmati estetika dan persenian tukang bubur? Pertanyaan inilah yang kadang dibicarakan seorang teman tatkala bingung membeli sarapan, walaupun tidak dijelaskan dan diada-adakan seperti pertanyaan di atas.
Keputusan dalam dua pilihan tidak bisa dijadikan standarisasi bahwa orang ini bla bla bla, orang itu bla bla bla, kalian bla bla bla, dan aku bla bla bla. Sama seperti apa kamu suka kecap? Atau apa kamu suka sambal? Belum tentu juga menyukai kecap menjadi ‘manis’—walaupun ada kecap asin—atau menyukai sambal menjadi ‘pedas’—barangkali lolongan tetangga lebih daripada itu.
Kemudian, dalam per-seni-an tidak selalu, tetapi pasti lekat dengan latar belakang si ‘dalang’ seni atau ‘objek’ seni itu sendiri. Seperti, penciptaan layang-layang, tentang bagaimana dan apa bambu yang baik sebagai kerangka, konsepsi bentuk, implementasi warna sebagai estetika, juga hasil akhir pelayangan—tereng atau tidaknya ‘objek’ ketika terkena angin lepas. Tentu, perbedaan ini juga dapat dilihat secara kasatmata, seperti wayang wong yang berbeda dengan wayang golek, di mana wayang wong lebih dikenal dalam lingkup budaya kekeratonan, seperti daerah Yogyakarta dan Solo, sedangkan wayang golek diketahui sebagai ciri identitas Jawa Barat.
Atau perbedaan dalam sebuah kesenian sastra atau sastra nyeni, seperti Faisal Oddang penulis asal Makassar yang mengambil ide dari kehidupan masa kecilnya dengan segala kebudayaan yang melingkupi. Atau Okky Madasari, seorang penulis feminis yang peduli tentang isu-isu kemanusiaan, baik itu mencakup dirinya atau khalayak umum. Atau Chairil Anwar dengan karya-karya yang sedemikian rupa, hingga bahkan Pramoedya Ananta Toer yang hingga sekarang masih diperdebatkan bahwa beliau seorang sastrawan atau sejarawan, dan hal-hal spesial lainnya.
Apabila diingatkan kepada latar belakang si ‘dalang’ seni, bisa saja didapati sebuah pendekatan secara historis individualis yang mencakup pergerakan sosial dan hal-hal yang melingkupinya, seperti lingkungan, kebudayaan, kebiasaan, dan pendidikan. Memang aspek ini merupakan respon atas berbagai peristiwa dan menaratifkan kembali dengan menghadirkan sebuah kebaruan. Respon inilah yang menunjang ‘objek’ seni, baik dalam pemunculan eksistensi ataupun esensi.
Atas dasar pertimbangan, hal itu disebut sebagai proses kreatif. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti pernah mengatakan bahwa, “Proses kreatif ada situasi mabuk, situasi tak sadar ketika kita sudah dekat dengan pengalaman. Karena itu, penyair atau penulis harus selalu mengakrabkan dengan keadaan termasuk kesakitan”. Respon terhadap peristiwa menjadi bekal penting, entah sebagai bahan referensi atau preferensi dalam melahirkan suatu karya, khususnya karya sastra.
Maka, didapatilah koherensi antara hidup (pengalaman) dengan proses kreatif terhadap pembentukan sebuah seni: seni rupa, seni kriya, seni tari, seni sastra, dan seni yang nyeni lainnya. Meskipun begitu, proses kreatif sendiri selalu menarik hal-hal yang istimewa di mana kemudian mencoba menggambarkan tawaran khas identitas terhadap suatu wilayah, suatu kebiasaan, bahkan kebobrokan suatu entitas dengan menghadirkan novelty. Dan, benar, suatu perbedaan selalu menjadi pembicaraan yang hangat dan perlu dibedah lebih lanjut di ruang ‘operasi’. Jangan lupa untuk meng-‘operasi’ karya kamu sendiri, ya!
Yogyakarta, 3 Agustus 2024.
Komentar
Posting Komentar