Intoleran Literasi

ditulis oleh Cahyo Saputro

Kata motivator, sebut saja Mario Teguh, "Menghargai adalah upaya identitas dari dewasanya seseorang." Tetapi, kata orang-orang ‘sukses’, upaya pendewasaan merupakan pengalaman atas hidup dan cara seseorang mengatasi permasalahannya. Usut-mengusut, dewasa ini mengakar problematika seputar literasi. Tentu banyak perihal telur atau ayam saja jadi perkara, apalagi soal intoleran dalam wadah literasi.

Kemujuran teknologi sekarang ini, menghadirkan sebuah inovasi baru tentang dan bagaimana cara masyarakat mencari, menemukan, membaca, menulis, membuat, mencipta, pun tidak lupa memplagiasi berbagai referensi—sebut saja sebagai bacaan atau istilah kerennya “literature”—dengan seenak jemari mengetik pada mesin tik yang lebih canggih daripada tahun 1873. Entah itu seukuran buku saku pramuka atau talenan masak emak-emak di dapur dengan ragam panjang kali lebar yang ndak menjadi keliling. Kecanggihan ini turut mengindahkan partisipasi masyarakat dalam menanggapi (apabila ingin) sebuah catatan yang muncul ketika dicari atau tidak sengaja lewat tanpa permisi di beranda rumah aplikasi diskusi, curhat, atau dating. Isinya mungkin sebuah promosi dari merek-merek ternama, katakanlah sepeda motor baru dengan tulisan “one heart” atau iklan tentang kelas-kelas motivasi dengan tema “hidup itu mudah”.

Tak lepas dari itu, kebebasan berekspresi inilah yang menjadi pertanyaan. Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman saya mengajukan pertanyaan dalam ruang diskusi singkat, “Apa tanggapan kalian terkait dengan toleransi dalam literasi?” dari pertanyaan itu langsung terbesit apakah ada batasan baik dan buruk dalam literasi? Senajan konsep baik-buruk merupakan penilaian subjektif yang bisa diberikan pada sebuah objek, tetapi pandangan-pandangan kelaziman sangat memengaruhi pra-anggapan dan anggapan tersebut. Tidak selesai di situ, didapati pula beberapa asumsi sebagai feedback atas pertanyaan yang ditawarkan. Beberapa orang menjawab perihal etiket dan toleransi terhadap sebuah karya, tentu karya tulis. Apakah selama ini kita—manusia yang ‘sok’ literasi—kurang toleransi?

Lebih lanjut, toleransi dalam literasi di sebut ‘penting’, tetapi penting untuk apa? Apa memang sebuah ‘penting’ dalam konteks memanusiakan atau sebuah penting untuk kepentingan golongan? Pada akhirnya, apresiasilah yang menjadi fokus utama tentang toleransi ini, walaupun bisa saja diidentifikasi melalui tetek bengek lainnya di mana mungkin memunculkan kemungkinan-kemungkinan tertentu. Dalam apresiasi inilah kebebasan dipertaruhkan. Mengapa begitu? Literasi sendiri digadang dengan pemaknaan terhadap apa yang dibaca dan apa yang ditulis. Ketidakpahaman literasi, bahkan kekeliruan apresiasi melahirkan kesukaran. Kesukaran akan melahirkan miss-konsepsi dan miss-komunikasi, khususnya dalam pertukaran ide, gagasan, baik melalui tanggapan secara langsung atau tanggapan melalui suatu perantara.

Tempo hari lalu, teman saya mendapati akun live Tiktok dengan pembahasan mirip. Banyak tanggapan dari mereka yang singgah hanya untuk mencari tahu atau menemukan suatu harta karun atau sekedar menggelontorkan umpatan-umpatan terhadap mereka yang beda. Diberikan satu contoh pula, di mana suatu entitas atau kelompok akan cenderung merasa lebih dari yang lain kala bacaan mereka berbeda dan ‘merasa’ bacaan hanya satu genre—misalnya mistisme Indonesia yang identik dengan lemper putih atau mbak-mbak ber-make up tebal mangkal di pohon Nangka.

Kecenderungan inilah yang sekiranya menjadi pembatas toleransi. Mungkin saja, mereka yang membaca tentang sains sangat mengagunkan hasil ilmiah dari suatu fenomena di dunia ini, tetapi dan tentu saja mereka yang membaca fiksi, baik novel, naskah drama, cerita pendek, bahkan puisi kerap juga menemukan suatu fenomena yang unik nan istimewa.

Toleransi literasi sendiri dapat disederhanakan menjadi menghargai dengan cara yang dianggap baik oleh khalayak umum dan apa-apa yang bersinggungan dengan literasi, baik pelaku, antar pelaku, dan antar-antar lain. Menoleransi heterogenitas pemikiran berarti menerima perbedaan. Tidak ada batasan pemikiran, ideologi, atau GBHN (Garis Besar Haluan Ngeliterasi).

Dengan demikian, intoleran literasi bukan suatu hal yang tidak dapat diatasi oleh para muda-mudi sebagai peliterasi yang asyik, sehat, dan bergizi. Ruang diskusi literasi sekarang bisa dianggap bunga yang siap dipetik atau tanah tandus dengan debu yang menyebabkan gangguan pernapasan, paru-paru, dan tidak baik untuk jantung. Selamat berliterasi!

Yogyakarta, 03 Agustus 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunitas: Sebuah Upaya Daring Pembelajaran Literasi

TBM Harapan Jogja: Pengembangan Literasi Lewat Praktik Menulis

Bahasa Puisi yang Begini dan Begitu