Memang Perlu Memahami Puisi?
ditulis oleh Cahyo Saputro
Umumnya makna diartikan sebagai suatu hal yang kompleks dari sebuah ungkapan, tetapi apakah ‘makna’ bisa kita maknai? Sekarang ini komunitas literasi atau komunitas ‘sok’ nyastra selalu berkutat dengan bagaimana cara kita memetik buah dari berbagai pohon, membedakan mana yang premium dan ecek-ecek, kemudian dikonsumsi sesuai kebutuhan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, sastra dibagi menjadi tiga tubuh, yaitu prosa, puisi, dan drama. Tubuh ‘puisi’ sendiri menurut Altenberd (1970:2) didefinisikan sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum)¹–as interpretive dramatization of experience in metrical language. Tentu tidak mutlak tentang bagaimana puisi itu didefinisikan, bisa saja dan secara sederhana puisi dimaknai sebagai tulisan dari pengalaman penulis. Lebih daripada itu, sastra khususnya puisi selalu melibatkan pembaca dalam konteks memahami dan memaknai. Memang semua jenis sastra selalu mencoba hal-hal baru dengan mengangkat yang dekat dan hangat.
Terlepas segala pengertian dan padanan yang akan muncul dan dijelaskan entah di mana, apakah pemaknaan dan pemahaman dalam puisi merupakan hal yang penting? Atau memahami dan memaknai puisi hanya sebuah upaya sebagai bentuk apresiasi kepada penulis? Pada sebuah kesempatan diskusi waktu itu, disampaikan bahwa memahami puisi adalah sebuah hal yang penting. Dikatakan pula bahwa ketidaktahuan pembaca terhadap unsur pembentuk puisi akan menimbulkan kesukaran dalam pemaknaan. Kesukaran ini juga berdampak kepada puisi yang akan dihasilkan oleh pembaca. Ini sejalan dengan pendapat Teeuw (1983:6) yang mengatakan bahwa niat pembaca menjadi ciri sastra yang utama mengingat pembacalah yang memberi makna pada puisi.
Apabila boleh dianalogikan, puisi adalah sebuah rumah utuh (tidak rumpang, tidak cacat) yang mana memang perlu diketahui pula bentuk dan unsur pembentuknya, seperti atap rumahnya berbentuk seperti apa, dindingnya kokoh atau tidak, daun pintu berupa besi atau kayu, dan antek-antek lainnya sehingga didapati kesimpulan bahwa perlu diketahui bahan apa yang membangun rumah itu sendiri. Maka, bahasa sebagai pembentuk puisi, menggarisbawahi tentang bagaimana pemaknaan dapat ditinjau secara penggunaan diksi dan atau susunan kata yang digunakan. Susunan kata inilah yang menjadi ciri dan khas seorang penulis, di mana bisa ditemui pada beberapa puisi dengan penggunaan permainan logika bahasa. Hal ini menandakan bahwa rasionalitas kebahasaan dalam puisi tidak mempunyai batasan yang kaku seperti penulisan surat lamaran kerja di sebuah perusahaan dengan atau tanpa nama.
Selain itu, dalam memaknai puisi dikatakan pula tentang perlunya identifikasi latar belakang yang bisa saja meliputi gender, pendidikan, lingkungan sosial, dan lain sebagainya di mana bisa kita simpulkan dan kelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Dari faktor-faktor inilah penulis itu dibentuk dan bagaimana sebuah puisi dilahirkan. Menjadi perbincangan yang menarik pula ketika berbicara genderisasi dalam puisi, yang mana bisa dilihat dari bentuk tulisan yang dihasilkan, walaupun tidak sepenuhnya kecenderungan feminis atau maskulin menjadi corak yang kuat dalam sebuah puisi. Inilah yang dinamakan kemungkinan dalam kemungkinan.
Ketika beranjak satu titik dalam proses memaknai sebuah puisi dengan identifikasi latar belakang, maka ditemui proses kreatif yang berbeda, beragam, dan istimewa pada tiap penulis. Dari proses kreatif inilah dapat diketahui kebenaran sebuah puisi ditujukan untuk siapa atau pembaca seperti apa yang sekiranya dapat dekat dalam puisi tersebut. Urgensi dalam pemahaman dan sikap kepada puisi berpengaruh kepada apa-apa yang akhirnya kita sukai sebagai bacaan sehari-hari. Umumnya, manusia akan mencari bacaan-bacaan yang serupa atau dengan alur dan jenis yang sama, di mana kemudian mencoba menulis dengan pola dan pengembangan ide yang sama pula.
Kaitan-kaitan ini merupakan pengayaan wawasan pada sebuah topik, sehingga terkadang ditemui pula dengan tokoh yang sama tetapi menceritakan sudut pandang lain atau menyajikan makna yang berbeda dari muasalnya. Kaitan tersebut bisa dikenal dengan intertekstualitas atau hubungan antar teks yang saling memengaruhi. Jadi tidak heran pula, apabila ditemui puisi-puisi serupa dengan ide yang sama, eits, tapi bukan plagiasi, ya!
¹ Metrum: ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata di setiap baris atau pergantian naik turun suara secara teratur dengan pembagian suku kata yang ditentukan oleh golongan sintaksis
Yogyakarta, 20 Juli 2024
Komentar
Posting Komentar