Hak Perempuan dalam Novel Sitti Nurbaya
ditulis oleh Cahyo Saputro
Nama Sitti Nurbaya kerap didengar sebagai ikon atau simbol khusus ketika wanita—wani ditata—jua perempuan—per-empu-an—disodorkan dengan tawaran atau paksaan oleh kamitua sebab utang-piutang maupun hal-hal lain yang menjadi ihwal utama dalam pemaksaan kawin tersebut. Sebutan kawin paksa sendiri menjadi booming dan melekat pada tahun-tahun lampau. Kawin paksa dianggap sebagai tradisi zaman dulu atau bisa diperhalus menjadi “perjodohan” dengan syarat atau atas syarat untuk sesuatu. Jauh di tanah Minang sana, seorang penulis atawa pengarang bernama Marah Roesli menceritakan sedemikian rupa pelik tentang romansa dengan adat kebudayaan. Sebelum berbicara lebih jauh, sila disimak tentang sinopsis novel tersebut di https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/sitti-nurbaya-buku-karya-marah-roesli/ .
Marah Roesli sendiri merupakan seorang sastrawan dan bangsawan Padang yang juga menekuni bidang kedokteran hewan. Beliau merupakan alumni dari Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada tahun 1915. Beliau sering disebut sebagai Bapak Roman Indonesia. Dalam latar belakang sosial budayanya, Marah Roesli dihadapkan pada adat Minangkabau yang keras dan mengikat, khususnya perihal perkawinan. Menurut aturan dalam adat Padang, perkawinan merupakan urusan orang tua dan keluarga. Anak itu sendiri tidak boleh membantah keputusan orang tua dan perkawinan campuran tidak diperbolehkan dalam adat istiadat Padang.
Pencipataan novel Sitti Nurbaya dilatarbelakangi atas dasar menyuarakan atau menceritakan tentang kehidupan dari Tanah Minang, Sumatera Barat, yang mana pada saat itu banyak anak perempuan yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya atau keluarganya. Zaman ini biasa disebut dengan zaman Siti Nurbaya. Selain itu, novel Sitti Nurbaya mengisahkan kisah cinta dan kasih yang tak sampai, serta penuh pertentangan keluarga, dengan dua tokoh fiksi utama yaitu seorang remaja perempuan yang bernama Siti Nurbaya dan seorang remaja laki-laki bernama Samsul Bahri.
Novel Sitti Nurbaya sendiri memiliki aspek-aspek sosial dan budaya. Secara sederhana, bisa ditemukan aspek kebahasaan dan aspek kebiasaan (kebudayaan). Dalam aspek kebahasaan, Marah Roesli menggunakan bentuk bahasa saringan dari akar bahasa ‘Melayu Pasar’ ke ‘Melayu Tinggi’. Hal ini dapat didiskusikan lebih lanjut dengan referensi relevan yang mana belum bisa dibahas dalam artikel ini. Kemudian, aspek kebiasaan merujuk sebagai suatu adat atau sebuah kelaziman yang menjadi kebudayaan dalam novel Sitti Nurbaya. Pastinya sangat jelas bahwa aspek ini merupakan poin yang paling menonjol dengan konflik sebab dari adat istiadat di Tanah Minang tentang perkawinan. Pada hal ini, suatu yang terjadi adalah perkawinan paksa karena sang ayah dari tokoh Sitti tidak bisa membayar utang kepada salah satu saudagar sehingga mau tidak mau ia harus dikawinkan atau bisa disebut dengan istilah kawin paksa demi melunasi utang dari sang ayah.
Ternyata, tidak hanya tanah Minang yang berlaku seperti itu. Ada sebuah kajian yang pernah penulis analisis di mana bisa juga menjadi faktor-faktor lain dalam perkawinan paksa. Analisis ini didasarkan pada interelasi kajian sosial budaya dalam novel Sitti Nurbaya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Analisis ini mengacu artikel jurnal yang berjudul “faktor-faktor pernikahan paksa (nikah sirri) di desa simpang kanan kecamatan sungai ambawang kabupaten kubu raya” yang bisa diakses di https://digilib.iainptk.ac.id/xmlui/handle/123456789/1323.
Kajian ini dilakukan di pulau Kalimantan, tepatnya Kalimantan Barat. Kebudayaan tersebut mengakar kuat dan sudah dianggap biasa oleh sebagian masyarakat, di mana hal tersebut juga dilingkupi dengan pendapat pemuka agama Islam. Dalam Islam, pernikahan paksa dikenal dengan ijbar, di mana secara saklek bisa dimaknai sebagai kepemilikan perempuan berada dalam genggaman seorang ayah. Entah, penulis pun belum tahu tentang ijbar secara lebih mendetail, tetapi beberapa literatur yang penulis baca, banyak kerentanan terhadap hak perempuan, seperti contoh perkawinan paksa. Oleh karenanya, pernikahan paksa di desa yang diteliti merupakan suatu hal yang diperbolehkan dengan catatan sesuai dengan pendapat tokoh agama.
Kemudian, timbullah pertanyaan tentang bagaimana hak perempuan, kesetaraan, kebebasan, dan tetek bengek keadilan lainnya terhadap perempuan. Sebagaimana dikata, “perempuan adalah objek”, apakah itu benar? Sila dan mari diskusikan.
Yogyakarta, 2024
Komentar
Posting Komentar