Komunitas: Sebuah Upaya Daring Pembelajaran Literasi
ditulis oleh Cahyo Saputro
Saya pikir, kemajuan teknologi membawa manusia pada titik tertinggi dalam mencapai inovasi dan kreativitas. Kemajuan ini tentu mendorong perkembangan di seluruh aspek, salah satunya Pendidikan dan khususnya “literasi”. Namun, kerap terjadi kesalahan konsep dalam pengertian makna, sehingga mengalami ketimpangan-ketimpangan yang masih perlu dibenahi.
Selain daripada itu, banyak orang mulai mengide pembuatan wadah bagi orang-orang yang ingin berproses—menghasilkan validasi si sebenarnya—dalam kegiatan seputar literasi. Tentu, ide ini menjadi sebuah peluang ‘tuk menjaring mereka sebagai salah satu kader, peserta, anggota, ataupun apa pun sebutannya. Wadah ini dibuat lebih dinamis, luwes, nan asoy.
Kemunculan komunitas daring menjadi pertanda dari kemajuan teknologi ini, khususnya komunitas daring literasi. Sangatlah bagus ketika menemui orang-orang dari lokalan yang berbeda, heterogenitas latar belakang kebudayaan, dan beda-beda lain yang kerap ditemui. Akan tetapi, bagaimana cara kerja dalam komunitas tersebut?
Sejauh ini, ada dua metode yang saya amati di berbagai komunitas. Pertama, sistem kelas di mana dalam sistem ini, menggunakan segmentasi materi dan pembagian jadwal secara terstruktur—setidaknya tulisannya. Kedua, diskusi, di mana suatu komunitas mencoba memberi cara untuk melatih nalar kritis terhadap suatu isu yang dibawakan. Akan tetapi, saya melihat bahwa hampir mayoritas komunitas ini menggunakan metode kelas yang sedemikian rupa.
Metode sistem kelas ini masih menjadi pertanyaan menurut saya. Bagaimana sistem ini akan terus dijalankan ketika memang mendapati kemunduran? Bagaimana sistem ini bisa diinovasikan menjadi lebih baik, bukan sekedar ceramah dan pidato yang membuat mata saya terkantuk-kantuk, juga siapa yang bertanggungjawab atas pemberian materi apabila mendapati “kesesatan”?
Nah, ini menjadi implikasi internal dalam sebuah komunitas. Saya tidak mendiskreditkan komunitas manapun atau meninggikan gelar akademisi untuk menjadi seorang pemateri, melainkan menegaskan dan memberi penegasan, apakah bisa bertanggungjawab? Pertanyaan ini belum pernah saya tanyakan kepada petinggi komunitas manapun, di sisi lain memang saya takut dan menghindari keributan, sisi lain pula saya malas.
Sistem yang sedemikian rupa itu, belum bisa memberi ruang keterbukaan pikiran kepada orang lain. Berbeda dengan metode diskusi. Metode diskusi ini lebih menjadi hidup apabila pemantik membuat suasana imperatif dan peserta mempunyai keberanian cukup loss yang penting happy. Maka berbeda juga ilmu yang diterima oleh peserta-peserta ini.
Hasil keluaran ini atau bahasa kerennya output menjadi pembeda antar komunitas. Tidak jarang suatu komunitas mengadakan perlombaan tentang “literasi dan sastra”, baik acara bulanan ataupun tahunan. Di situlah, komunitas memamerkan hasil usahanya untuk membentuk kader berkualitas dengan penuh harap dapet kemenangan—biasanya begitu. Satu hal yang luput adalah tidak adanya pemberian apresiasi terhadap kader yang belum mendapatkan predikat juara. Oleh karena itu, tidak jarang kader-kader ini hilang semangat dan parahnya tidak ada pembinaan diri untuk belajar lebih lanjut.
Sekiranya, tetek bengek yang saya tulis ini bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan atas eksistensi komunitas literasi daring dengan slogan mayoritas “mari belajar bersama bla bla bla”. Untuk penutup, seduh kopi dan jaga diri.
Yogyakarta, 15 September 2024
Komentar
Posting Komentar