Literasi Bukan Pop Mie
ditulis oleh Cahyo Saputro
MENARIK ketika membicarakan tentang perkembangan teknologi berbasis AI (Artificial Intelligence) dalam belajar dan mengajar. Perkembangan ini sangat memudahkan siapa pun untuk mencari, memperoleh, tetapi tidak dengan memahami—secara menyeluruh—suatu informasi yang dibutuhkan dan yang diberikan. Walaupun memang tidak semua orang melakukan itu. Hal ini sama saja dengan pesulap yang membodohi penonton dengan trik-trik penipuan, seolah-olah yang sesuatu itu tiba-tiba hilang atau sebaliknya di mana penonton tidak merasa ‘sedang’ dibodohi. Satu yang ini dianggap sebagai hiburan instan bagi mereka yang percaya suatu itu.
Oknum-oknum yang serupa pesulap ini bahkan menjadi ‘guru’ dalam sebuah kelas atau ‘pemantik’ nyala api diskusi. Sebetulnya bukan suatu masalah, apabila memang mereka sebelumnya tahu tentang konsep, teori, dan ilmu yang disampaikan secara lebih paham atau sekiranya membaca satu buku lebih banyak dari yang lain dan mampu bertanggungjawab juga tidak menyesatkan. Kemudian, bagaimana dengan konsep, teori, dan ilmu?
Konsep dan teori ini merupakan dasar bagi siapa saja yang sekiranya butuh untuk itu, mengapa? Dua hal ini merupakan kunci pemahaman awal yang sekiranya perlu dipahami. Seperti seorang pemancing yang tau konsep penentuan spot mancing dan tau teori menggunakan alat pancing. Sebab bisa saja, kita memilih mancing di selokan menggunakan batang bambu. Lalu, bagaimana dengan ilmunya? Iya, sederhana, bisa menjawab ketika ditanya, “Mas, alat pancing yang bagus itu seperti apa?”.
Maraknya penggunaan ‘keinstanan’ ini berdampak pada kurangnya pemahaman. Boleh saja kita sebut ini sebagai upaya penyesatan bersama. Usut mengusut, hal seperti ini juga terjadi dalam suatu komunitas dan sialnya pula ini merupakan komunitas ‘literasi’ dan lebih sialnya lagi ini adalah komunitas ‘literasi daring’. Suatu kontradiksi saja, seperti bagaimana esensi dari literasi tidak diimani oleh mereka yang turut mengamini.
Zaman sekarang, siapa yang tidak tahu menyoal ‘keinstanan’ ini? Bukan suatu hal yang apik ketika kita mencoba memberi paham sedang sebetulnya kita belum paham. Tidak masalah, tapi hapus saja nama “kelas materi” jadi “diskusi” atau ubah saja menjadi lomba kecerdasan ‘instan’ daripada lomba kreativitas. Lho, mas, tapi ini kan kreativitas juga, kalo saya enggak masukin prompt, mana bisa kecerdasan buatan begini bagusnya?
Lho iya, itu suatu kreativitas. Kreativitas yang malas. Kenapa bisa begitu? Yang disebut ‘instan’ ini, menghilangkan khidmat ilmu sebelum kebutuhan ilmu. Pembacaan yang tidak detail ini, menghilangkan bagian alasan dan penjelas yang lebih luas—sebagaimana dalam buku terdapat pengantar sebelum masuk ke dalam subbab dan unsur-unsur lain yang membangun. Akhirnya, ilmu yang dipetik tidak lengkap. Ilmu yang tidak lengkap ini perlulah dilengkapi, baru diberikan. Jangan asal tahu menjiplak pengertian saja.
Kalau asal menjiplak, anak SD lebih pintar daripada orang dewasa, gambar robot saja dijiplak di atas buku gambar, walapun kepalanya kotak dan bentuknya transformers. Kebiasaan inilah yang musti perlahan dikurangi. Setidaknya, ilmu yang sedikit ini bisa kita bagi dengan cara yang jujur. Bisa katakan bisa, janganlah sampai mencoba hal-hal yang kurang etis cuma untuk mengejar predikat “intelek”.
Akhirnya juga benar, ketika dikatakan kalau ‘keinstanan’ ini membantu dan memudahkan manusia, tetapi benar juga kalau ‘keinstanan’ ini menggantikan manusia. Sungguh menarik memang, ketika pekerjaan dan pemahaman manusia yang melalui serba-serbi digantikan dengan serba tanpa serbi. Kenapa manusia enggak jadi pesulap aja ya? Daripada jadi pegiat literasi yang baca buku, minum kopi.
Yogyakarta, 28 September 2024
Komentar
Posting Komentar