Bahasa Puisi yang Begini dan Begitu
ditulis oleh Cahyo Saputro
Diskusi perihal kritisi bahasa masih menjadi angin segar untuk dibahas. Bahasa puisi sendiri mengalami perkembangan yang sejalan dengan perubahan ejaan-ejaan, khususnya di khazanah kesusastraan Indonesia. Perkembangan Bahasa Indonesia sendiri tak lepas dari ruang lingkup Bahasa Melayu yang menjadi pelopor lahirnya bahasa Indonesia. Hal itu tak jauh berbeda dengan kesusastraan. Indonesia sendiri dipengaruhi oleh kesusastraan melayu atau bisa disebut sebagai sastra lama (sastra melayu).
Kemudian, puisi-puisi dalam jenisnya turut mengalami pembaruan sebagai terobosan karya-karya kreatif sesuai dengan kebaruan zaman. Sebagaimana diketahui bahwasanya puisi-puisi mengalami periodisasi, seperti dikenalnya puisi lama dan puisi baru. Saat ini puisi lama bukan berarti ditinggalkan, tetapi khalayak memilih mengikuti kebaruan zaman dengan bergulat kepada puisi modern.
Puisi modern ini mendobrak aturan-aturan lama sebagai bentuk kebebasan inovasi dan kreativitas, sehingga terkadang beberapa anak-anak komunitas yang saya temui mengasumsikan bahwa bahasa puisi adalah bahasa yang rumit dan munafik. Suatu hal yang menarik ketika bahasa puisi dikatakan sebagai kemunafikan, padahal memang dalam bahasa terdapat dua makna kata: konotatif dan denotatif.
Pernah sekali juga, bahasa dalam puisi diperdebatkan hanya dan karena suatu susunan sintaksisnya kurang dinyatakan benar dan tidak mengikuti kaidah kebakuan. Padahal pula dalam kesusastraan jelas berbeda dengan bahasa karya tulis ilmiah yang begiu formal dan kaku. Bukan suatu masalah juga, tapi menurut saya itu merupakan suatu ranah yang berbeda.
Puisi sebaiknya bermakna implisit, walaupun tak ada salahnya ketika memang dibalut pemaknaan secara eksplisit. Beberapa hari lalu jua, Jemi Batin Tikal, seorang penyair yang melanglang buana di perantauan berkata bahwa puisi adalah seperti judul buku Bapak Sapardi Djoko Damono yang berjudul Bilang Begini Maksudnya Begitu.
Hasan Asphanani juga pernah menulis tentang Bahasa Puisi Kok Rumit dalam ruang renung tiga, “Jika dalam percakapan biasa kalimat, "aku lapar!" bermakna si pengucap sedang merasakan lapar dan mungkin ingin segera makan. Dalam puisi, kalimat yang sama bisa diartikan bahwa aku dalam puisi itu sedang mencari sesuatu, sedang kehilangan sesuatu, sedang menunggu sesuatu sekian lama. Bebas saja. Licencia poetica! Memang kata penyair Paul Valery puisi adalah sebuah dunia yang benda-benda dan makhluk di dalamnya atau lebih tepat imajinya punya kebebasan dan hubungan yang berbeda dari dunia praktis."
Tentu, cara kerja penyair akan berangkat dari muasal imaji-imaji liar para penyair dalam gagasannya. Lebih menarik lagi, dalam penutupnya Hasan Aspahani menuliskan, “Kerja menyairlah yang memberi tenaga pada kalimat itu, memberi ruang yang lebih lega bagi penafsiran pada kata-katanya. Caranya, dengan mengerahkan seluruh perangkat bahasa syair yang ada, atau yang diciptakan sendiri oleh penyairnya. Tantangannya adalah, syair yang tersusun kalimatnya terjebak pada kerumitan, asal beraneh-aneh, tersesat dalam kegelapan bahasa. Atau sebaliknya terlalu cair, datar, dan tak menantang untuk dimultitafsirkan. Di antara dua jebakan itulah, puisi-puisi meniti."
Maka sekiranya, perjalanan bahasa puisi adalah di antara pertentangan dan menentang suatu ‘lega’ atau ‘rumit’ dalam penyusunannya yang kemudian kepiawaian penyairlah yang memainkan bahasa-bahasa. Karenanya, saya perlulah lagi bermain-main di taman kanak-kanak untuk bermain dengan bahasa-bahasa yang seenak jidat, meminta, dan egois, atau kalian juga? Entahlah.
Yogyakarta, 2024
Komentar
Posting Komentar